Saturday, August 1, 2015

Mencari Jejak Kesatuan di Kampung Cina Benteng

Semuanya berawal dari percakapan saya dengan seorang sahabat via “chatting.”  Sahabat yang biasa saya panggil dengan sebutan “kak Gay” alias Gayatri Wedotami Muthahari alias Chen Chen menawarkan kesempatan kepada saya untuk bekunjung ke suatu Wihara di kawasan Tangerang,  awalnya informasi yang saya terima kurang begitu jelas, sehingga saya harus menyusun kata-kata kunci, seperti: Wihara, Cina Benteng, Sewan, dan sebagainya. Menarik! Itulah kesan pertama dalam benak dan juga hati saya. Kemudian saya pastikan saja bahwa saya belum mempunyai acara pada hari Jum’at, tanggal 31 Januari 2014, dan saya bersedia untuk mengikuti ajakannya.
Saya sungguh masih terasa asing dengan Wihara, meskipun saya sering melihatnya baik secara nyata, maupun melalui media cetak dan elektronik. Namun bagi saya, yang terpenting adalah sebuah pengalaman, dan tentunya kesempatan tidak mungkin datang pada waktu dan moment yang sama. Kak Gay atau Kak Chen Chen mengabarkan bahwa kami akan berkunjung ke Wihara bersama beberapa orang dari anggota ICRP, ini kali pertama saya berkesempatan untuk mengenal dan bersua dengan mereka. Saya mengenal ICRP sejak beberapa tahun silam via grup di facebook, namun belum pernah sekalipun mengikuti kegiatan yang diadakan di dalamnya. Yah, mudah-mudahan kunjungan ke Wihara ini menjadi awal kegiatan saya bersama ICRP.
Baiklah, setelah memastikan untuk turut serta, saya pun meminta izin pada ibu saya. Izin saya dapatkan, dengan dalih saya akan berkunjung terlebih dahulu ke rumah sahabat saya semasa di Pondok Pesantren dulu. Saya juga sering berkunjung ke rumahnya dan sesekali menginap. Rumah sahabat saya di kawasan Jalan Husein Sastranegara Kp. Rawa Bokor, saya berniat untuk melihata keadaannya, keluarga, dan rumahnya. Saya mendapat kabar bahwa beberapa waktu lalu, rumahnya beserta rumah-rumah disekitarnya terendam air banjir hingga sepinggang orang dewasa, karena itu sepanjang malam sahabat saya, kelauarganya, dan juga para tetangga terjaga hingga pagi. Dimana mereka bisa terlelap? rasa kantuk pun dilupakan!. Saya bangga padanya, dia memiliki jiwa yang sangat tegar dan sabar, beberapa kali jatuh bangun untuk menopang kehidupan keluarganya, membiayai sekolah adik-adiknya, hingga membangun sebuah toko mungil yang dipersembahkan untuk ibunya. Luar biasa ya?!
Singkat kata, saya berkunjung ke rumahnya juga untuk menumpang singgah dan istirahat sebelum saya meneruskan perjalanan ke Bandara. Yang lucu, saya mengatakan kepada sahabat saya bahwa saya mempunyai janji dengan teman di Bandara, sahabat saya bertanya: “memang kamu mau “terbang” kemana? – saya tersenyum dan menjawab: ya, nggak pergi kemana-mana, lha tujuannya ke belakang Bandara katanya. “ Hehehe...
Waktu berlalu, saya membuat janji dengan seorang adik kelas yang telah sampai di Bandara lebih dulu, namanya Karbelani.  Saya diantar sahabat sampai Bandara. Saya dan Bela janji untuk bertemu di terminal 1 C, namun pada kenyataannya saya pun tak bisa menemukannya, karena Bela, begitu dia biasa dipanggil telah ‘dibawa’ lari lebih dulu oleh Kak Chen.  Lama saya menunggu di  Bandara, hilir mudik, sampai-sampai rasanya mau kembali ke rumah sahabat saya, tapi syukurlah suami Kak Chen datang menjemput setelah beliau juga menjemput beberapa teman dari ICRP.
Kami pun bertemu, masih perlu waktu juga untuk menunggu jemputan Koh Alex, sebagai Tuan rumah. Petualangan dimulai! Saya bergumam dalam hati. Dua unit mobil membawa kami menyusuri wilayah Tangerang, tidak terlalu lama untuk bisa sampai ke Kecamatan Neglasari Kelurahan Mekarsari, mobil yang kami tumpangi merapat, hingga sampai pada satu lahan kosong, disana mobil diparkir dengan rapi.
Saya senang, bahagia dan juga takjub dengan pengalaman yang tengah saya alami, sekali lagi saya bersyukur dalam hati. Saya melihat beberapa pengurus Wihara tampak sibuk membersihkan tempat sembahyang, menyapu lantai, mengelap meja, merapikan kursi-kursi. Tapi sungguh, kami diterima dengan keramahan yang luar biasa, ya, kami disambut hangat oleh para pengurus, cukup untuk menghangatkan suasana yang kala itu tengah mendung dan langit bersipa mengguyurkan hujan. Kami dipersilahkan untuk duduk, mata saya tak henti-hentinya memandang sekeliling. Waw! Decak kagum saya, ornamen, interior dan lain-lain sungguh membuat saya seperti berada dalam buku cerita. Tapi ini kenyataan yang saya alami, saya tengah berada di Wihara “Tjong Tek Bio” Kampung Sewan yang berdiri sejak 1830 dan telah mengalami beberapa kali pemugaran.
Suasana hangat menyelimuti, dalam sekejap kami terlibat dalam percakapan, bertukar pikiran, dan tak lupa untuk berfoto di setiap sudut Wihara. Mulai dari perbincangan sejarah, kebudayaan, hingga seni. Ternyata diantara pengurus Wihara juga ada yang mahir bermain alat musik “Tehyan.”  Dan dari beberapa sumber yang saya baca, Wihara Tjeng Tek Bio berarti Maha Bodhi, menjadi Wihara tertua di kota Tangerang bersama beberapa Wihara lainnya. Yang menarik dari lingkungan Wihara ini adalah warga setempat yang memiliki sebutan khusus seperti “Cina Benteng.” Menurut seorang peneliti dari LIPI, orang-orang etnis Tionghoa telah bersima di Tangerang sejak abad ke 15, pada masa itulah terjadi percampuran penduduk dengan proses “kawin campur” antara tuan tanah (orang Betawi) dan orang dari etnis Tionghoa, sehingga melahirkan keturunan yang berbeda dari keturunan Tionghoa pada umumnya, perbedaan mendasar adalah warna kulit keturunan yang kecokelatan dan dialek sehari-hari yang tidak lagi menggunakan bahasa Mandarin. Pada zaman dulu kala, warga “Cina Benteng” mengalami kesulitan, khususnya saat terjadi penjajahan, mayoritas warganya lari menyelamatkan diri, dan otomatis meninggalkan kampungnya karena takut tertangkap oleh kolonial Belanda. Jika tertangkap para tawanan akan dikirim untuk dipekerjakan di perkebunan milik VOC di Sri Lanka. Tidak hanya itu, ternyata “kesengsaraan”  warga Cina Benteng tidak berhenti sampai disitu, masih menurut peneliti dari LIPI pada abad ke-19 merupakan puncaknya dimana warga Cina Benteng tergusur dari tanhnya sendiri, meskipun pada kenyataan disaat yang sama orang-orang Cina yang “murni” datang ke Tangerang dan sekitarnya, dan demi menyambung hidup, warga Cina Benteng menjual aset-asetnya, dan keadaan semakin terpuruk, keberadaan mereka terpinggirkan karena tidak ada daya dan upaya lagi untuk diperjuangkan. Hingga saat ini mayoritas warga Cina Benteng masih berada di bawah garis kemiskinan dan memprihatinkan.
Sebagian warga Cina Benteng memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan, wirausaha, hingga pemulung. Hal ini sangat memprihatinkan dikarenakan mereka memiliki keadaan yang demikian diatas tanah mereka sendiri. Meskipun begitu, diantara warganya ada yang memiliki keterampilan di bidang seni dan budaya, ada yang mengetahui sejarah peradaban leluhurnya, dan ada pula yang mendalami kerajinan alat musik Tehyan, saya lupa menanyakan nama beliau, lelaki paruh baya yang kami temui di rumahnya. Beliau memiliki keterampilan yang luar biasa, selain membuat alat musik, beliau juga mampu memainkan alatnya dengan membuat nada-nada indah dari lagu-lagu yang sangat populer, diantaranya: Happy Birthday dan Layang-Layang. Satu hal yang saya yakini, mereka masih bisa bersyukur memiliki tempat beribadah, setidaknya hal ini menjadi simbol bagi harapan mereka semua, bahwa suatu saat nanti akan ada perubahan yang lebih baik khususnya jika ditandai dengan keinginan untuk mengubah nasib dan semangat dalam menikmati kehidupan yang teramat indah. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman ICRP yang telah memberikan kesempatan berharga kepada saya untuk terus belajar dan belajar, sama seperti pepatah Arab: "al-'ilmu bila 'amalin kasyajari bila tsamarin - ilmu tiada amal, bagai pohon tiada berbuah". Harapan saya, semoga saya bersama teman-teman yang lain mampu membantu untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka, saling menyemangati dan memberi warna satu sama lain. Kesatuan dalam keberagaman!! Salam sejahtera untuk kita semua, semoga Tuhan selalu memberkati langkah kita bersama, amin.

(4 Februari 2014)

No comments:

Post a Comment