Sunday, January 24, 2016

Bukan zamannya lagi wanita ingin dimengerti! 


Pulau Kelor, 2013
Mengawali tulisan ini, saya teringat akan "jargon" kaum hawa yang mungkin masih dipakai hingga sekarang, apalagi kalau bukan "karena wanita ingin dimengerti" - Mengapa saya menuliskannya disini, karena menurut hemat saya, jika seorang wanita ingin dimengerti, ya sebaiknya ia juga harus mulai menulis, menulis sesuai kata hati, menulis apa yang sedang dipikirkannya, agar semua yang membaca tulisannya dapat memahami dirinya, dapat membaca pikirannya, dan siapa tahu juga dapat menyelami perasaan hingga ke dasarnya.  Jika wanita ingin selalu dimengerti, lalu kapan ia akan belajar mengerti orang-orang diluar dirinya? - Saya bersyukur karena mempunya karakter yang ingin mengerti lebih dulu, caranya? - mengerti seseorang tidak perlu banyak strategi, mengerti orang lain itu sederhana sekali, luangkan waktu untuk mendengarkan lebih banyak daripada kita berbicara, jangan selalu berusaha untuk lebih dominan pada lawan bicara, siapapun itu dan termasuk anak kecil! Saat kita siap untuk mendengarkan orang lain berbicara, maka jiwa kita juga siap untuk memberi rasa lapang, perkara dimengerti ataupun tidak adalah perkara yang sama sekali tidak penting lagi! #trust_me_it_works (pesan sebuah iklan).
Memahami orang lain memang terasa sulit, apalagi jika kita belum memahami diri kita sendiri. Terlebih lagi rasa galau yang tidak bisa dikontrol, tentu akan menghabiskan waktu kita yang sedang berusaha untuk menghadirkan rasa empati, dan belajar tidak egois. Menulis adalah salah satu cara yang paling tepat untuk membentuk pribadi yang tidak pasif, menulis dapat membantu untuk menjaga mood, menulis juga dapat membantu mengasah nalar. Singkatnya, dengan menulis, para wanita juga bisa menempa dirinya agar bisa menjadi sosok ideal yang tidak hanya "menuntut" untuk dimengerti, tapi ia justru mampu meluangkan waktu untuk mengerti dirinya dan orang lain.

(Cilandak, 20/01/2016) 

Tuesday, January 12, 2016

Berawal dari jadwal trip ke Garut yang ditunda, saya dan dua orang teman lainnya memutuskan untuk mengadakan trip sendiri. Lalu terpikir oleh saya untuk mengajak mereka ke Tebing Keraton yang berada di kawasan Bandung. Saya hanya memiliki informasi dari tanya seorang dosen yang pernah berunjung kesana, dan mengandalkan ulasan dari wikipedia. Benar-benar nekat betul!! saya mengajak mereka sedangkan saya tidak tahu harus kemana, karena saya belum pernah mengadakan perjalanan dimana lokasi Tebing Keraton berada. Tebing Keraton selalu mempesona, tidak diragukan jika atmosfirnya telah berhasil menghipnotis para petualang dan pecinta alam atau "selfie" - alasan saya cukup sederhana, saya penasaran bagaimana rupa si Tebing yang cantik sekaligus mengagumkan.

Sehari sebelum kami berangkat, tiket kereta api sudah full-booked, begitu kata teman saya yang menyambi sebagai travel agent mobile. Ada sedikit harapan, saya kabarkan "kabar kurang baik" itu kepada dua teman lainnya, Teh Neng dan Awi. Saya jelaskan bahwa tidak ada lagi tiket, tapi saya memberikan solusi agar mereka mencoba untuk mengecek di outlet makanan/minuman. Dengan penuh semangat, keduanya bergegas menuju outlet dekat kampus tempat kami bekerja. Dan..... 3 TIKET K.API BERHASIL didapatkan!! Sesuai kesepakatan sebelumnya, kami menumpang kereta pukul 5 pagi dari stasiun Gambir (karena hanya dari Gambir yang memiliki tujuan ke Bandung), Jum'at 9 Januari 2016, sepulang bekerja kami menuju rumah saya untuk menginap sehingga memudahkan perjalanan esok pagi. 
Hari Sabtu, pukul 02.11 dini hari, saya terbangun untuk bersiap mandi serta membangunkan yang lain, Teh Neng masih lelap jadi saya biarkan sementara saya bangunkan Awi yang menginap di tempat adik lelaki. Tidak lama kemudian Teh Neng dan Awi juga bersiap, ya kami siap berpetualang. Setelah pamit pada Ibu, kami berdua menjemput Awi untuk lanjut berjalan kaki menuju muka jalan untuk menumpang taksi menuju stasiun Gambir. Saat itu waktu menunjukkan pukul 3 lebih beberapa belas menit. Kira-kira perjalanan menuju Gambir hanya memerlukan waktu 20 menit, kami bergegas turun begitu sampai di depan pintu masuk lobi stasiun. Mata kami sibuk mencari kursi tunggu yang kosong, benar saja, belum banyak calon penumpang yang berdatangan, dan kami memilih kursi di bagian tengah yang strategis untuk melihat, memandang, dan menikmati suasana stasiun di pagi buta.
Waktu berlalu, kami berbagi tugas, Awi serta Teh Neng bergerak untuk mencetak tiket kami bertiga. Alhamdulillah, semua lancar-lancar saja. Pukul 4 lewat kami bergegas untuk check in, menunggu kereta datang di lantai atas. Melalui pemeriksaan satu-persatu secara tertib dan teratur. Kami berpindah tempat, mengingat waktu shalat subuh sudah dekat, maka kami bergantian untuk menjaga tas-tas besar. Beberapa menit menjelang keberangkatan ke Bandung, satu-persatu penumpang masuk ke dalam kereta, beberapa diantaranya bertanya dengan petugas yang berjaga di depan setiap pintu gerbong, termasuk Awi yang hampir tertinggal karena mushola yang penuh oleh mereka yang shalat subuh, sehingga mengharuskan dirinya untuk sabar mengantri.... (bersambung ya!)