Sunday, October 30, 2016

Wonderful Life; keajaiban akan datang saat kita siap menerima apapun pemberian Tuhan dengan setulus hati



Beberapa minggu terakhir, saya memang ingin sekali pergi ke bioskop, khusus menonton film dengan genre drama. Harapannya, semoga saya bisa mengolah diri agar bisa menjadi manusia yang lebih empati dan peka terhadap keadaan sekitar.

Sore itu, suatu tawaran datang tak terduga dari seorang kawan yang menawarkan tiket untuk menonton “Wonderful Life” yang diperankan oleh Atiqah Hasiholan. Wah, rezeki memang tidak kemana. Setelah minggu lalu batal menonton dengan seorang kawan yang lain, justru diganti dengan tawaran yang sama.

Saya langsung mengiyakan, karena saya benar-benar ingin menontonnya dengan sepenuh mood. Layar teater mulai terbuka, menyajikan seluruh nama pemain dan crew yang terlibat dalam pembuatan film tersebut.

Film yang berjudul Wonderful Life ini adalah kisah nyata yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Kisahnya menunjukkan tentang realitas kehidupan sebuah keluarga yang mana salah satu anggotanya mengidap penyakit disleksia.

Jujur saja, saya baru tahu tentang dislekesia saat diawal film yang memang dengan jelas memberikan informasi kepada para penonton tentang definisi disleksia. Disleksia merupakan suatu penyakit yang menyerang seseorang sehingga tidak dapat mendengar dan melihat dengan jelas.

Adalah Amalia (diperankan oleh Atiqah Hasiholan), seorang wanita karir yang sangat cemerlang. Dia hidup bersama buah hatinya bernama Aqil (Sinyo) Mereka tinggal bersama kedua orangtua dari suami Amalia yang sudah almarhum.

Hari-hari Amalia disibukkan oleh pekerjaannya sebagai CEO dari sebuah perusahaan advertising yang didirikan bersama sahabatnya. Perusahaan ini sedang bergerak maju karena kerja keras Amalia, sahabatnya, dan seluruh karyawan.

Namun kehidupan Amalia di rumah tak sesukses karirnya di kantor. Amalia tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan bapak mertuanya, hal ini disebabkan oleh karakter mereka yang bertentangan dan keras kepala. Tidak seperti ibu mertua yang sangat penyabar dan pengertian. Bapak mertua seakan melimpahkan beban yang sangat berat di pundak Amalia.

Walhasil, hubungan keduanya terlihat sangat buruk sepeninggal suaminya yang merupakan anak tunggal di keluarga tersebut. (Penulis juga belum mampu menyimpulkan tali-tali dari setiap scene yang ditampilkan karena daya persepsi penulis yang terbatas).

Hingga pada suatu hari, Amalia memutuskan untuk meninggalkan rumah itu dengan mengajak serta anak lelakinya. (terus terang, pada scene ini penulis beranggapan bahwa Amalia akan pergi minggat untuk selamanya, karena penulis melihat ekspresi, dialog yang mengarah pada “pergi tak kembali” Amaliadari rumah tersebut, namun rupanya perkiraan saya meleset).

Sosok Amalia yang perfeksionis menjadikan dirinya sebagai wanita yang mandiri, tak ubahnya seperti wanita karir pada umumnya. Dengan kemandirian tersebut Amalia bertingkah angkuh, hal ini ditandai saat Amalia berziarah ke makam suaminya.Amalia berucap sedikit ketus pada penjaga makam. dia ingin keadaan makam selalu bersih, tanpa mau tahu apakah si penjaga sehat atau tidak.

Penulis yakin bahwa sikapnya tersebut karena terpengaruh dari hubungannya dengan bapak mertua yang tidak harmonis dan “kejayaannya” di kantor, dua hal yang kontradiktif tapi cukup beralasan jika dirinya bersikap demikian.

Kembali pada focus anak lelakinya yang berusia 7 tahun. Hari itu, Amalia dipanggil pihak sekolah untuk membahas tentang kegiatan belajar di kelas, guru kelas tampak memberi penjelasan bahwa “prestasi” putranya di sekolah cenderung menurun, hal ini menyebabkan nilai-nilai mata pelajaran juga tidak sesuai dengan “target” nilai yang sudah ditentukan.

Amalia merasa heran, kemudian bertanya penasaran kepada sang guru; “Masa semua pelajaran menurun nilainya, pasti ada pelajaran yang dia sukai dong?” begitu selidik Amalia. Iya, ada bu. Itu pelajaran menggambar, jawab sang guru singkat.

Amalia masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Penjelasan sang guru tentang keadaan putranya di kelas, membuatnyaberpikir keras untuk mencari solusi.

Akhirnya, Amalia memutuskan untuk pergi ke psikiater guna mencari tahu apa yang sedang diderita oleh puteranya. Pulang ke rumah, bapak dan ibu mertua menunggu hasil pertemuannya dengan psikiater.

Makan malam itu dihiasi oleh air mata Amalia yang tertahan di ujung mata. Saat bapak mertua bertanya; penyakit apa yang diderita oleh cucunya? – Amalia hanya menjawab bahwa putranya tidak sakit.

Keesokan hari di kantor, Amalia tidak sengaja mendengar pembicaraan stafnya tentang pengobatan herbal yang berhasil menyembuhkan anaknya itu. Merasa tertarik, Amalia lantas meminta alamat tempat yang dimaksud oleh staf tersebut.

Petualangan Amalia dan putranya pun dimulai. (Penulis merasa sedang berkelana bersama Amalia dan putranya, karena melihat panorama alam pedesaan yang menyejukkan pandangan). Putranya tampak senang karena uminya (panggilan Amalia) mengajaknya jalan-jalan, jauh meninggalkan kota metropolitan yang bising.

Amalia menyusuri desa-desa terpencil untuk menemukan alamat yang tertulis, namun apa daya yang ia temukan justru metode pengobatan yang tidak sesuai dengan harapan. Aneka macam “tabib” desa pun ia telah jumpai, dengan hasil yang sama bahwa putranya hanya kurang nafsu makan dan berolahraga.

Ketangguhan Amalia diuji coba pada keadaan ini, dimana dia harus bersabar diri menghadapi orang-orang diluar dugaan. Meskipun demikian, Amalia tetap menghargai mereka dengan mendengarkan saran-saran dan ramuan yang harus diberikan kepada putranya.

Fokus Amalia pada penyembuhan putra semata wayang, menjadikan dirinya harus memantau kantor dari jarak jauh, meskipun ada gadget tetap saja sinyal menjadi dewa penyelamat yang sangat dibutuhkan saat itu. Amalia tidak menginginkan sesuatu dipegang oleh orang lain, meskipun partner kerja sendiri. Bukan masalah kepercayaan atau yang lain, tapi integritasnya pada suatu pekerjaan memaksa dia harus bisa memutuskan dengan cermat.

Selama perjalanan “petualangan” berlangsung, pada sosok Amalia ditampilkan sebagai sosok ibu yang mulai membuka hati untuk lebih bisa memahami dan mengenal putranya sendiri. Hilang sudah sifat keras kepala dan obsesif.

Sampai sebuah kejadian membbuat Amalia mengubah cara pandang hidup, terlebih terhadap buah hatinya. Kisahnya adalah saat Amalia berada di sebuah hotel tempat ia menginap, sebelum check out ia menanyakan alamat yang akan ia tuju kepada resepsionis hotel. Sayangnya, alamat yang dituju dikabarkan tidak lagi praktek, karena tabib yang dimaksud adalah seorang penipu.

Si resepsionis memberikan alternatif lain, karena si tabib terbilang sakti. Maka Amalia memutuskan untuk mendatangi alamat yang baru saja diberikan. Perjalanan masih sama seperti sebelumnya, perkampungan yang sepi tapi juga indah karena dikelilingi oleh pepohonan dan area persawahan.
Mobil yang dikendarai Amalia mendadak mogok, terpaksa ia harus turun dan membetulkannya sendiri.

Apa mau dikata, usahanya tidak berhasil, hingga sebuah mobil bak terbuka lewat, sang putra membehentikan mobil bak tersebut. Singkat cerita, Amalia dan putranya menumpang mobil dan duduk di belakang bersama aneka sayur mayor dan beberapa ekor kambing.

Sang putra merasa senang, tapi tidak dengan Amalia yang ingin muntah berkali-kali mencium aroma binatang berkaki empat itu. Suasan terlihat lucu dan menggemaskan antara hubungan emosional ibu dan anak. Penulis yang menonton juga tersenyum geli dibuatnya.

Mereka pun tiba di tepian sungai, saat itu ada dua orang laki-laki yang sedang santai berjaga. Si sopir mobil tadi berteriak kepada keduanya “ada pelanggan, tolong antarkan!”  - mendengar kata “pelanggan” sontak keduanya sumringah dan mulai bernegosiasi. Setelah kesepakatan ongkos menyebrang disetujui, Amalia dan putranya menaiki perahu kecil.

Lagi-lagi panorama alam menjadikan putranya seperti seseorang yang berjiwa bebas, tidak terpenjara dalam tembok kelas. Sang putra teramat senang bermain air, sesekali ia menyipratkan air sungai ke uminya.

Tak lama kemudian, mereka tiba di tepian desa. Tak jauh dari mereka berdiri tampak sebuah gubuk tua yang terkesan angker. Mau tak mau, Amalia harus menemui si tabib demi kesembuhan putranya.
Si tabib tua membuka pintu dan mengatakan bahwa Amalia merupakan tamu yang sudah ditunggu.

Setelah berbicara sedikit terkait dengan yang diderita sang putra, si tabib menyarankan Amalia untuk membuak pakaian dan menggantinya dengan jarit (jawa: kain batik). Amalia berkilah, bahwa bukan dirinya yang harus menjalani ritual tapi putranya.

Si tabib pun tak menggubris. Amalia bergidik dan merasa hilang akal saat itu dan melangkah ke sebuah bilik untuk mengganti pakaian, namun saat tirai bilik itu dibukanya, Amalia terperanjat karena ia menyaksikan ada sosok perempuan muda yang tengah hamil besar.

Secara spontan, Amalia membalikkan tubuhnya, dan berusaha mengajak lari putranya yang sedang menggenggam boneka kayu “property” si tabib. Putranya tak mau beranjak, dan membuat Amalia menjadi kesal. Diseretnya tangan tersebut sampai depan pintu gubuk, dan memaksa agar si putra meninggalkan boneka kayu itu. Amalia harus lari secepatnya, dengan sisa tenaga yang ada, ia menarik kencang tangan si putra untuk kesekian kali agar bisa menjauh dari gubuk tersebut.

Sang putra tak kuasa melanjutkan lari, karena dalam benaknya ia masih menginginkan boneka itu. Amalia berteriak, pergi sana! Kembali lagi ke gubuk itu kalau kamu tidak sayang umi. Sang putra dengan pelan menjawab teriakan itu dengan sedikit gugup; apa-apa selalu umi, nggak pernah tanya aku.  Amalia merasa tercekat, kata-kata putranya menghempaskan ia dari langit yang tinggi menuju ke bumi.

Mereka tak punya banyak waktu, upaya Amalia sepertinya akan sia-sia jika hanya berdiri disana. Mereka berlari lagi sampai tiba di tepian sungai saat mereka datang. Mereka berhasil menyebrangi sungai, tapi tak berhasil kembali ke mobil karena hari sudah gelap.

Disanalah, momen dimana kesadaran dan kepekaan Amalia mulai tumbuh. Aqil menyarankan agar umi dan dirinya beristirahat sambil menunggu pagi di tepian sungai itu. Dengan dijaga oleh dua orang warga desa yang merangkap sebagai penyewa perahu, Amalia pun mengiyakan.

Amalia dan Aqil duduk bersisian, sang anak bersandar di bahu Amalia dan mengucapkan terim kasih banyak karena telah mengajaknya jalan-jalan dan berpetualang. Sang putra sempat bertanya, mengapa ia tak dapat menyaksikan indahnya malam dengan bintang-bintang di Jakarta, Amalia hanya menjawab bahwa di Jakarta banyak polusi, jadi bintang-bintang tidak bisa terlihat dengan jelas.

Malam itu merupakan malam keajaiban bagi Amalia. Dirinya tidak lagi memikirkan pekerjaan, ia hanya bertekad untuk membahagiakan si buah hati dengan segala minat dan potensi yang ada dalam dirinya. Amalia hanya butuh sikap untuk menerima apa yang Tuhan berikan untuknya.

Perjalanan pulang dari petualangan telah mengubah Amalia, ia memutuskan untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang bapak mertua. Ketangguhannya selama ini ia buktikan dengan cara hidup berdua saja dengan sang buah hati, ia ingin memberikan hal-hal yang belum dirasakan dan dinikmati sepenuhnya oleh pangeran kecilnya.

Catatan kecil dari sebuah Wonderful Life
Sosok Amalia mengajarkan kita bahwa hidup dan kebahagiaan memang harus diperjuangkan sampai titik maksimal, hingga tidak ada daya lain selain berserah diri kepada Tuhan YME. Belajar menerima dengan ikhlas terhadap segala pemberian Tuhan, meskipun kita tidak menyukainya, tapi justru itulah yang terbaik dan menguji prasangka kita kepadaNya.

Segala usaha yang sudah dilakukan untuk mencari solusi bisa ditempuh dalam berbagai cara, seperti Amalia yang menempuhnya dengan cara ilmiah dan alamiah. Namun Tuhan juga Maha Segala Penentu. Amalia sosok ibu yang luar biasa; kekuatan, ketangguhan, dan kelembutan bersatu padu dalam dirinya sebagai sosok perempuan yang sempurna dalam memaksimalkan potensi dan anugerah dari Tuhan.

*)Penulis akan merindukan kisah-kisah inspiratif dan undangan lainnya untuk ditulis.




Tuesday, September 27, 2016

Tampil Cantik Maksimal Sesuai Versimu

All photos: Personal Doc

Merawat dan menjaga kecantikan merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Tuhan, karena Tuhan menciptakan anugerah ini dengan sebaik-baiknya ciptaan. Terkhusus wanita yang disebut oleh kaum Sufi sebagai manifestasi Tuhan yang paling sempurna. Melalui wanita pula, keindahan alam semesta dapat disaksikan dengan nyata. 
Mendapat kesempatan untuk hadir dalam acara “Be You – Maximie Your Beauty” dengan tema Manjakan Diri untuk Kulit Segar dan Cantik Secara Maksimal adalah salah salah satu momen langka, terlebih lagi acara ini baru kali pertama diselenggarakan atas kerjasama kompasiana, Lotte mart, dan Sariayu Martha Tilaar. 

Terus terang, acara semacam ini baru saya ikuti untuk yang pertama kali juga. Meskipun saya perempuan namun masih canggung untuk berdandan dan menggunakan aneka make up, mulai dari make up untuk alis, bulu mata, mata, hidung, bibir, dan seterusnya. 

Bagi saya, semua hal itu adalah bentuk kerumitan menjadi perempuan. Namun dengan adanya acara ini, pikiran saya pun terbuka tentang arti penting berdandan bagi wanita. Selain untuk merawat dan menjaga penampilan, berdandan juga menjadi suatu keharusan asalkan tidak berlebihan dan merupakan fitrah bagi seorang wanita. 

Secara kodrati semua wanita adalah cantik, tapi seringkali kecantikan tersebut pudar karena si wanita malas merawatnya. Lalu bagaimana cara kita sebagai puteri-puteri ibunda hawa dapat memancarkan pesona kecantikan tersebut dengan indah. 

Memanfaatkan akhir pekan bersama Kompasiana dan Lotte Mart 

Pagi itu, Sabtu, 24/9/2016. Sebagian ladies kompasianer telah berkumpul di Bentara Budaya depan gedung Kompas untuk berangkat bersama dengan tim dari Kompasiana. Tidak seperti yang dijadwalkan sebelumnya, kami baru bisa berangkat pukul 8 lebih 15 menit karena harus menunggu kompasianer lain. 

Kami menggunakan bus mini menuju lokasi yang berada di kawasan CBD Bintaro. Kami beruntung karena hari masih pagi dan jalan-jalan yang kami lalui tampak lengang. Sekitar 30 menit perjalanan via tol akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Suasana mall masih sepi, hanya ada beberapa outlet dan resto atau coffee shop yang baru saja membuka gerainya, dan beberapa karyawan tampak sibuk dan siap untuk menyambut pembeli. 

Rombongan kami menuju eskalator untuk mencapai tempat acara di lantai 2. Saya dan kawan-kawan tiba di tempat acara, beberapa saat kemudian salah seorang panitia membagikan kaos untuk dipakai selama acara berlangsung, kami pun bergegas mencari tempat untuk mengganti atau memakai double. Setelah selesai, kami kembali ke tempat duduk yang sudah disediakan. 

Sebelum acara inti dimulai, kami disambut dengan ramah oleh ibu Evi Leonawan (General manager marketing PT. Lotte Mart Indonesia) dan ibu Melanie (Senior marchandise manager). Panitia memberikan instruksi bahwa kami (ladies kompasianer) akan dibagi menjadi beberapa grup, selanjutnya setiap grup akan melakukan store visit, yaitu berkeliling mengunjungi berbagai booth yang menjadi peserta ”beauty fair.” 

Lotte Mart mengadakan Beauty Fair Beauty fair diadakan dua kali dalam setahun dan selama 12 hari di seluruh Lotte mart Indonesia. Dengan mengusung slogan “Smart beauty” yang juga sebuah komitmen Lotte mart Indonesia untuk memeriahkan acara beauty fair. 

Lotte mart mengambil bagian dalam memberi kesempatan kepada wanita Indonesia untuk bisa tampil cantik maksimal, sehingga mereka bisa menyadari bahwa dirinya adalah wanita- wanita yang cantik berkarakter dan caranya masing-masing. 


Ditandai dengan “selfie” kami berkeliling menuju booth-booth yang telah “dijaga” oleh para wanita cantik Indonesia. Ibu Melanie mendampingi saya dan empat ladies kompasianer. Kami berhenti di setiap booth sambil mendengarkan penjelasan dari beliau, sambil mendengarkannya kami juga mengambil beberapa gambar atau video untuk keperluan dokumentasi. 

Disamping mendengarkan kami juga bertanya tentang hal-hal yang belum jelas, seperti apakah semua produk atau merk kosmetik mengikuti beauty fair? Hal-hal menarik apa saja yang ditawarkan oleh Lotte mart dalam beauty fair? Dan apa keuntungan yang bisa didapat oleh para konsumen dari beauty fair ini? 
Secara singkat, saya menyimpulkan bahwa beauty fair merupakan salah satu momentum yang digagas oleh Lotte mart Indonesia untuk memberikan kesempatan kepada para wanita Indonesia agar bisa berpenampilan cantik, anggun dan menawan sesuai versi mereka. 

Tentunya dengan banyak penawaran, para wanita dapat memilih kosmestik sesuai dengan kebutuhannya dan dengan harga yang terjangkau pula. Yang lebih menarik adalah beauty fair ini tidak hanya dikhususkan untuk para wanita saja, ada beberapa booth juga yang menawarkan produk untuk pria. Jika anda berkesempatan untuk datang ke Lotte mart yang terdekat, beauty fair ini telah dibuka sejak tanggal 22 September – 5 oktober 2016, silahkan ajak serta pasangan, keluarga, teman, atau tetangga untuk menikmati berbagai promosi. 

Narasumber yang super keren 
Sampai pada grup terakhir kembali dari store visit, acara dilanjutkan dengan sesi yang ditunggu-tunggu oleh para ladies yang hadir. Selain ibu Evi Leonawan dan ibu Melanie, dihadirkan pula seorang narasumber yang humble dan charming. Dara cantik ini adalah seorang E-blogger yang ternyata sudah tidak asing bagi sebagian ladies kompasianer. 
Namanya mba Putri atau biasa disapa dengan mba Pucch. Karakternya yang supel mampu memberi kesan bahwa acara ini sangat tidak membosankan. Mba Pucch mengatakan bahwa dirinya merupakan penganut aliran make up cepat- tepat, artinya ia tidak suka berdandan yang menghabiskan waktu lama. Ia lebih suka menggunakan tehnik yang cepat tapi maksimal, dan itu bisa! 
Para ladies kompasianer banyak yang menanyakan tips seputar tehnik menggunakan alat make up, tehnik “melukis” alis, memilih warna eye liner, eye shadow, blush on, lipstik, dan sebagainya. Mba Pucch pun menjelaskan secara detail terkait berdandan yang baik dan benar sesuai dengan karakter pribadi masing-masing, tidak lupa memberi saran kepada para audien agar bisa tampil cantik maksimal. 
Beberapa tips yang dapat saya rangkum, sebagai berikut: 

1. Untuk memilih blush on, ketahui dahulu jenis kulit kita, apakah termasuk jenis kulit warm (cokelat, kuning langsat) atau cool (putih), biasanya juga dapat dilihat dari warna urat nadi. Warna urat nadi jenis kulit warm berwarna hijau, sedangkan yang cool berwarna biru. Mba Pucch, menyarankan bagi kulit warm untuk memilih warna yang dua tingkat lebih gelap dari kulit, sehingga dapat memancarkan warna yang kontras dan ceria. Untuk jenis warm bisa memilih warna orange, peach, dan lain-lain, sementara jenis cool dapat memilih warna-warna yang menyala seperti pink, merah, dan lain-lain. 

2. Membingkai alis, saran dari E-blogger kita yang kece ini; membingkai alis sebaiknya mengikti tekstur alis asli, mengisi bulu-bulu alis yang halus, tahap terakhir barulah dibingkai. 

3. Memilih dan memakai lipstik; seorang blogger bertanya pada mba Pucch, mengapa bibirnya selalu berdampak kering saat memakai lipstik dari merk apapun. Mba Pucch mencoba menganalisa: jika itu sering terjadi, maka ada berbagai faktor, seperti kurang minum air putih, tidak cocok dengan lipstik, dan juga efek dari pasta gigi. Untuk faktor yang ketiga, saya tentu saja baru mendengar. Namun bagi ladies yang mengalami hal yang sama, saran ini patut dicoba. 

4. Bagaimana merawat bibir? - cara mudah untuk merawat bibir agar tetap sehat dan lembab juga dapat menggunakan scrub yang bisa dibuat sendiri di rumah. Bahan-bahan alami sangat mudah didapatkan, seperti: brown sugar (gula jawa) serta madu, oleskan pada bibir dan gosokkan perlahan dengan menggunakan sikat gigi bayi. 

Dan untuk menjelaskan lebih konkret tentang bagaimana mengaplikasikan make up secara baik dan tepat, maka mba Pucch mencoba unjuk kebolehan dengan memilih salah satu ladies kompasianer untuk menjadi objek eksperimennya. Tangan dan lisannya tak berhenti bekerja, tangannya sibuk “menyulap” wajah sang objek, sementara lisannya ikut menjelaskan, mengapa harus begini dan begitu. 

Sebelum acara diakhiri, para ladies ditantang untuk melakukan “make over” diri sendiri. Ada 6 peserta yang ikut, namun dipilih hanya 3 peserta yang berhak mendapatkan hadiah dari panitia. Saya memperhatikan betapa wajah para ladies tampak bahagia, riang, dan gembira. Saya pun secara pribadi juga mengharapkan agar kompasiana dapat mengadakan acara yang seperti ini di waktu yang akan datang. Nah, ladies, bagaimana tampil cantik menurut versimu? ;) Terima kasih Kompasiana, terima kasih Lotte Mart.

kunjungi juga: http://www.kompasiana.com/unamunir

Sunday, January 24, 2016

Bukan zamannya lagi wanita ingin dimengerti! 


Pulau Kelor, 2013
Mengawali tulisan ini, saya teringat akan "jargon" kaum hawa yang mungkin masih dipakai hingga sekarang, apalagi kalau bukan "karena wanita ingin dimengerti" - Mengapa saya menuliskannya disini, karena menurut hemat saya, jika seorang wanita ingin dimengerti, ya sebaiknya ia juga harus mulai menulis, menulis sesuai kata hati, menulis apa yang sedang dipikirkannya, agar semua yang membaca tulisannya dapat memahami dirinya, dapat membaca pikirannya, dan siapa tahu juga dapat menyelami perasaan hingga ke dasarnya.  Jika wanita ingin selalu dimengerti, lalu kapan ia akan belajar mengerti orang-orang diluar dirinya? - Saya bersyukur karena mempunya karakter yang ingin mengerti lebih dulu, caranya? - mengerti seseorang tidak perlu banyak strategi, mengerti orang lain itu sederhana sekali, luangkan waktu untuk mendengarkan lebih banyak daripada kita berbicara, jangan selalu berusaha untuk lebih dominan pada lawan bicara, siapapun itu dan termasuk anak kecil! Saat kita siap untuk mendengarkan orang lain berbicara, maka jiwa kita juga siap untuk memberi rasa lapang, perkara dimengerti ataupun tidak adalah perkara yang sama sekali tidak penting lagi! #trust_me_it_works (pesan sebuah iklan).
Memahami orang lain memang terasa sulit, apalagi jika kita belum memahami diri kita sendiri. Terlebih lagi rasa galau yang tidak bisa dikontrol, tentu akan menghabiskan waktu kita yang sedang berusaha untuk menghadirkan rasa empati, dan belajar tidak egois. Menulis adalah salah satu cara yang paling tepat untuk membentuk pribadi yang tidak pasif, menulis dapat membantu untuk menjaga mood, menulis juga dapat membantu mengasah nalar. Singkatnya, dengan menulis, para wanita juga bisa menempa dirinya agar bisa menjadi sosok ideal yang tidak hanya "menuntut" untuk dimengerti, tapi ia justru mampu meluangkan waktu untuk mengerti dirinya dan orang lain.

(Cilandak, 20/01/2016) 

Tuesday, January 12, 2016

Berawal dari jadwal trip ke Garut yang ditunda, saya dan dua orang teman lainnya memutuskan untuk mengadakan trip sendiri. Lalu terpikir oleh saya untuk mengajak mereka ke Tebing Keraton yang berada di kawasan Bandung. Saya hanya memiliki informasi dari tanya seorang dosen yang pernah berunjung kesana, dan mengandalkan ulasan dari wikipedia. Benar-benar nekat betul!! saya mengajak mereka sedangkan saya tidak tahu harus kemana, karena saya belum pernah mengadakan perjalanan dimana lokasi Tebing Keraton berada. Tebing Keraton selalu mempesona, tidak diragukan jika atmosfirnya telah berhasil menghipnotis para petualang dan pecinta alam atau "selfie" - alasan saya cukup sederhana, saya penasaran bagaimana rupa si Tebing yang cantik sekaligus mengagumkan.

Sehari sebelum kami berangkat, tiket kereta api sudah full-booked, begitu kata teman saya yang menyambi sebagai travel agent mobile. Ada sedikit harapan, saya kabarkan "kabar kurang baik" itu kepada dua teman lainnya, Teh Neng dan Awi. Saya jelaskan bahwa tidak ada lagi tiket, tapi saya memberikan solusi agar mereka mencoba untuk mengecek di outlet makanan/minuman. Dengan penuh semangat, keduanya bergegas menuju outlet dekat kampus tempat kami bekerja. Dan..... 3 TIKET K.API BERHASIL didapatkan!! Sesuai kesepakatan sebelumnya, kami menumpang kereta pukul 5 pagi dari stasiun Gambir (karena hanya dari Gambir yang memiliki tujuan ke Bandung), Jum'at 9 Januari 2016, sepulang bekerja kami menuju rumah saya untuk menginap sehingga memudahkan perjalanan esok pagi. 
Hari Sabtu, pukul 02.11 dini hari, saya terbangun untuk bersiap mandi serta membangunkan yang lain, Teh Neng masih lelap jadi saya biarkan sementara saya bangunkan Awi yang menginap di tempat adik lelaki. Tidak lama kemudian Teh Neng dan Awi juga bersiap, ya kami siap berpetualang. Setelah pamit pada Ibu, kami berdua menjemput Awi untuk lanjut berjalan kaki menuju muka jalan untuk menumpang taksi menuju stasiun Gambir. Saat itu waktu menunjukkan pukul 3 lebih beberapa belas menit. Kira-kira perjalanan menuju Gambir hanya memerlukan waktu 20 menit, kami bergegas turun begitu sampai di depan pintu masuk lobi stasiun. Mata kami sibuk mencari kursi tunggu yang kosong, benar saja, belum banyak calon penumpang yang berdatangan, dan kami memilih kursi di bagian tengah yang strategis untuk melihat, memandang, dan menikmati suasana stasiun di pagi buta.
Waktu berlalu, kami berbagi tugas, Awi serta Teh Neng bergerak untuk mencetak tiket kami bertiga. Alhamdulillah, semua lancar-lancar saja. Pukul 4 lewat kami bergegas untuk check in, menunggu kereta datang di lantai atas. Melalui pemeriksaan satu-persatu secara tertib dan teratur. Kami berpindah tempat, mengingat waktu shalat subuh sudah dekat, maka kami bergantian untuk menjaga tas-tas besar. Beberapa menit menjelang keberangkatan ke Bandung, satu-persatu penumpang masuk ke dalam kereta, beberapa diantaranya bertanya dengan petugas yang berjaga di depan setiap pintu gerbong, termasuk Awi yang hampir tertinggal karena mushola yang penuh oleh mereka yang shalat subuh, sehingga mengharuskan dirinya untuk sabar mengantri.... (bersambung ya!)